Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, Jatim, Indonesia
maju terus untuk teknologi dan ilmu pengetahuan

Kamis, 11 September 2008

IBADAH NABI


Surabaya - Tiga orang sahabat datang menghampiri Rasulullah SAW. Mereka bertanya bagaimana cara Rasulullah beribadah. Dengan senang hati Rasulullah menceritakan bagaimana cara beliau beribadah. Sepulang menghadap Nabi, ketiga sahabat ini punya kesimpulan masing-masing dalam benak mereka. Kesimpulan itu berangkat dari fakta bahwa Nabi saja yang dosa-dosanya -baik yang akan datang maupun yang telah lalu- sudah diampuni Allah tetap menjalani ibadah dengan tekun, apatah lagi mereka yang hanya ummat biasa.Sahabat pertama memutuskan untuk berpuasa terus dan tidak akan berbuka. Sahabat ke dua memilih melakukan shalat malam terus menerus tanpa tidur barang sejenak. Sahabat terakhir memutuskan berselibat: menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya. Dengan cara-cara itu, mereka berkeyakinan Allah akan menerima ibadah mereka sebagai amal shaleh. Terperanjat Rasulullah demi berita mengenai tata cara ibadah ketiga orang sahabat itu sampai kepada beliau. Maka Nabi pun mengundang ketiganya untuk berbincang-bincang. “Kaliankah bertiga yang mengatakan hal-hal itu? Puasa tidak berbuka, shalat malam tanpa tidur, dan menjauhi wanita tidak nikah-nikah?” tanya Rasulullah. “Benar ya Nabi Allah. Semua itu kami lakukan agar kami menjadi orang yang bertakwa,” jawab tetamu Nabi.Rasulullah pun berkata, “Aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan aku adalah orang yang paling bertakwa kepadaNya. Aku puasa dan aku buka, aku shalat malam dan aku tidur, aku pun menikahi wanita-wanita. Barang siapa tidak mengikuti sunahku, maka mereka tidak termasuk golonganku”.Islam adalah agama fitrah. Kita memang diwajibkan menjalani ibadah, namun dalam beribadah tidak boleh ghulug, alias berlebih-lebihan. Segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan tentu saja melanggar kepatutan, bahkan bisa berujung pada kategori melakukan suatu perbuatan tidak pada tempatnya. Di dalam kitab tafsir Al Mishbah, Prof. Dr. Quraish Shihab mendefinisikan kata dzalim sebagai meletakkan sesuatu (pikiran, kata-kata, perbuatan) tidak pada tempatnya (tidak sepantasnya). Setiap komponen kehidupan, setiap organ di tubuh kita, punya tugas dan haknya masing-masing. Kita tidak boleh memperlakukannya secara dzalim. Mata punya hak untuk terpejam, perut juga punya hak diisi makanan. Semua telah diatur oleh Allah sedemikian rupa hingga berjalan serasi dan seimbang. Demikian juga dalam kita mengelola rizki. Kita diwajibkan bersedekah, namun hendaknya tetap dalam koridor kepantasan. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Apabila engkau mempunyai uang 4 dinar, kemudian satu dinar engkau infaqkan di jalan Allah (dinarun anfaqta fisabilillah), dan satu dinar kau gunakan untuk memerdekakan seorang budak (dinarun anfaqta firakabatin), dan satu dinar engkau berikan kepada orang miskin (dinarun tasadaqku ala miskin), lalu sisa yang satu dinar engkau berikan kepada keluargamu (dinarun anfaqta fialika), maka azohumma adzron yang paling besar pahalanya di mata Allah adalah satu dinar yang dipakai untuk menafkahi keluarga.” Dinarun faqtahu fiahlika, kalau kita punya rezeki 4 dinar tidak usah semuanya disedekahkan, sebab di dalamnya terdapat hak keluarga kita yang juga utama di mata Allah. Sebaliknya, kalau empat dinar itu tidak kita sedekahkan sebagian di antaranya, maka nafkah yang kita berikan kepada keluarga tidak memiliki keutamaan. Bahkan bisa jadi kita menafkahi keluarga dari rizki yang haram disebabkan hak orang lain (kaum dhuafa) di dalamnya tidak kita keluarkan lebih dahulu.Subhanallah, betapa mulianya agama yang mengajarkan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan. Tapi bila kita tidak paham konteksnya, ini bisa jadi kacau balau. Seperti suasana di bulan Ramadhan ini, masjid-masjid dan mushola-mushola penuh sesak. Tapi bukan penuh sesak dengan orang-orang yang berlomba-lomba mencari kebaikan dengan beribadah, memperbanyak dzikir, tapi disesaki orang yang mencari tempat teduh dan nyaman untuk tidur. Ini sudah menjadi pemandangan yang rutin setiap bulan Ramadhan tiba.Memang Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa yang berdzikir lalu tertidur, dan kemudan dia berdzikir dalam tidurnya, maka tidurnya ibarat dzikir”. Juga, “Tidurnya orang yang sedang berpuasa adalah ibadah.”Kalau kita memahami konteksnya dengan benar, kita akan dapati bahwa selama menjalani ibadah puasa Ramadhan, kita tidak boleh memforsir habis-habisan seluruh waktu dan tenaga untuk beribadah. Memang kita dianjurkan memperbanyak ibadah pada malam hari, mulai dari membaca Al-Quran, shalat malam, dzikir, dan sebagainya. Tetapi tetap saja hak mata dan anggota tubuh lain untuk beristirahat (sehingga terjadi proses metabolisme yang baik dan berujung pada terjaganya kesehatan) harus terpenuhi. Bahkan, karena mulianya Ramadhan, tidur yang (jika dilakukan) pada bulan-bulan lain hanya diganjar kesegaran tubuh setelah bangun, pada bulan ramadhan tidur pun dapat pahala!Nah, agar tidak berlaku dzalim, maka urusan memperbanyak ibadah dan memenuhi hak-hak itu harus dijalankan seiring, dilakukan pada porsi yang tepat. Tidak pada tempatnya kalau selama berpuasa kita tidur melulu dengan dalih tidurnya orang puasa adalah ibadah. Juga tidak pada tempatnya kalau kita begadang terus sepanjang malam untuk menjalani aneka ibadah lalu esoknya dipakai sebagai alasan bermalas-malasan dalam bekerja.Yang paling tepat, perbanyaklah ibadah malam dan beristirahatlah secukupnya. Bukankah saat berbuka puasa, setelah seharian menahan lapar dan haus, kita juga dibenturkan pada kenyataan bahwa sebenarnya kebutuhan kita akan makanan dan minuman tidak sebanyak yang kita perkirakan? Kalau urusan dunia ini kita penuhi secukupnya (tidak berlebih-lebihan seperti biasanya), otomatis kita punya ruang dan waktu lebih banyak untuk beribadah. Begitulah cara Rasulullah SAW beribadah, penuh dengan keseimbangan.Mudah-mudahan di bulan Ramadhan ini kita bisa meningkatkan produktifitas dalam pekerjaan sehari-hari sekaligus juga meningkatkan produktifitas ibadah kita kepada Allah SWT. Amien Ya Rabbal Alamin.


Tidak ada komentar: